IDA BHATARI RATU NIANG SAKTI DAN ANCANGAN BUAYA

 


Ida Bhatari Ratu Niang Sakti adalah salah satu putri dari Dang Hyang Nirartha dari istri ketiganya yang berasal dari blambangan. Kisah Ida Bhatari Ratu Niang Sakti berawal dari kisah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari jawa timur sampai ke pulau bali. Dang Hyang Nirartha adalah adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari Dang Hyang Asmaranatha. Dang Hyang Nirartha menikah dengan putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di geria Mas Daha bernama Diyah Komala. Dari perkawinan ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua orang putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Ida Ayu Swabhawa inilah yang nantinya akan dikenal dengan nama Ida Bhatari Melanting. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh atau barat) dan diberi nama sanjungan Dang Hyang Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.

Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuran-pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya. Oleh karena itu, orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak yang pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Blambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.

Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya. Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha menikah dengan putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Diyah Sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini melahirkan tiga orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor Uuga atau Nuaba. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan yang berarti fajar menyingsing. Dan yang paling bungsu bernama Ida Kulwan Uuga.

Setelah beberapa lama, Dang Hyang Dwijendra akhirnya pindah dari Pasuruan ke Blambangan (Banyuwangi) disertai oleh putra-putrinya. Selama tinggal di Blambangan, Dang Hyang Nirartha menikah dengan adik dari Sri Aji, Juru-Raja Blambangan yang bernama Sri Patni Keniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rai Istri atau Ida Ayu Nirswabawa Uuga, rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan. Ida Rai Istri inilah yang nantinya dikenal dengan nama Ida Bhatari Ratu Niang Sakti. Anak yang kedua bernama Ida Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Dan anak yang paling bungsu bernama Ida Kulwan Uuga Keniten yang berarti tenang dan disiplin seperti air.

Gambar 1. Silsilah Ida Bhatari Ratu Niang Sakti

Setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat tinggal di Blambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan hubungan Dang Hyang Nirartha dengan Raja Sri Aji Juru menjadi tidak baik. Dang Hyang Nirartha didakwa oleh raja memasang guna-guna, karena keringat dari Dang Hyang Nirartha harum sebagai minyak mawar. Tiap orang yang berdekatan dengan beliau turut harum, meskipun tanpa memakai minyak wangi. Bahkan adik perempuan dari Sri Dalem Juru, sampai jatuh cinta kepada Dang Hyang Nirartha. Oleh sebab itu, Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Keniten. Pada suatu hari, menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya mengarungi laut selat Bali yang disebut dengan Segara Rupek.

Sang pendeta sendiri waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu apapun. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan, tidak akan mengganggu hidup waluh pahit seumur hidupnya, sampai pada turunan-turunannya.

Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya. Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Dang Hyang Nirartha bersama anak dan istrinya kemudian berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar. Di tengan perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu karena banyak jalan kecil yang bercabang. Tiba-tiba muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’ seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan. Sang pendeta berkata kepada kera itu : “Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”,
demikian pastu beliau terus berjalan ke arah timur bersama anak-istrinya.

Setelah berjalan selama beberapa saat, Dang Hyang Nirartha bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya sangat lebar dengan rupa dan bentuk yang sangat mengerikan. Putra-putri dan istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta dengan wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya beliau di dalam perut naga itu, dijumpainya sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai) tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur berwarna putih, yang di pinggir selatan berwarna merah, yang di pinggir utara berwarna hitam. Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna keemasan. Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masing-masing lari membawa dirinya sendiri.

Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai gelap. Untung tidak jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan lagi. Sang istri mengatakan tidak tahu kemana larinya anak-anak mereka, karena mereka lari berpencar dan masing-masing lari dengan kehendaknya sendiri-sendiri.

Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya. Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama putra-putrinya. Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan.

Dang Hyang Nirartha disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama mencari-cari, akhirnya sang putri ditemuinya telah berbadan halus (astral). Tampak wajahnya yang pucat lesu. “Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang Hyang Nirartha. “Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa. “Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,– sebentar merah, sebentar hitam. Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri, penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba bersih dari dosa, tidak dilihat orang lagi. Bisa menjadi dewa di surga, dan tidak lagi menjadi manusia....”

Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “jangan khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.” Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi (Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan orang-orang desa yang ada di sana.

Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta. “Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajal hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.” Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh orang-orang di sini, bersama orang-orangnya desa yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia biasa. Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang. Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang. Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang Hyang mengeluarkan api gaib yang menghanguskan seluruh desa dan penghuninya sekalian.

Setelah Ibunda beliau, Sri Patni Keniten dimoksakan di Pura Pulaki, Ida Rai Istri dengan setia menemani Dang Hyang Nirartha kemanapun beliau melakukan perjalanan. Ida Rai Istri dengan setia melakukan swadharmanya sebagai seorang anak dalam melayani Dang Hyang Nirartha selama perjalanan. Suatu ketika, saat Ida Rai Istri mengikuti perjalanan Dang Hyang Nirartha menuju ke Pura Uluwatu, ditengah jalan, beliau merasa kelelahan dan merasa bila pengabdian beliau sudah cukup sampai disini. Ida Rai Istri kemudian meminta kepada Dang Hyang Nirartha agar dirinya dimoksakan di tempat itu. Tempat Ida Rai Istri menghilang itu berada hutan bakau yang sepi bernama Suwung. Setelah sekian lama, di tempat tersebut akhirnya di bangun sebuah pura yang bernama Pura Griya Anyar Tanah Kilap, yang berada di Desa Suwung, Kabupaten Badung dan beliau dipuja dengan gelar Ida Bhatari Ratu Niang Sakti.

Ida Bhatari Melanting yang berstana di Pura Melanting dan Adik Beliau Ida Bhatari Ratu Niang Sakti yang berstana di Pura Griya Anyar Tanah Kilap adalah Bhatari yang diberikan tugas untuk memberikan restu rezeki untuk pemujanya. Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dan Ida Bhatari Melanting juga dikenal sebagai Ratunya wong samar, wong gamang, siluman dan makhluk penjaga yang disebut dengan ancangan. Ratu Niang Sakti memiliki anak dan cucu angkat yang menyebar di seluruh Bali. Anak angkat yang terkenal adalah Ratu Niang Ayu yang berstana di Pura Dalem Pengembak Campuhan, Sanur, Bali. Restunya adalah membukakan jalan bagi manusia yang mengalami keterpurukan hidup, dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian Ratu Niang Tukang, meskipun tidak memiliki Pura, hanya diketahui oleh manusia-manusia pencerahan. Sesuai namanya, Beliau adalah ahli Bebali dan merestui umat dalam sastra bebali.

Ida Bhatari Ratu Niang Sakti  juga distanakan di Pura Khayangan Jagat Bhuana Purohita karena awal mula perjalanan spiritual Pinisepuh juga berhubungan dengan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, yang bisa di baca di Link berikut ini :  http://www.dharmagiriutama.org/pinisepuh/25-pinisepuh/1-kisah-pencerahan.html
Selain itu, suatu hari ada banjir besar di sungai dekat Pura Purohita yang menyebabkan tanah di sekitar Pura menjadi longsor. Atas petunjuk Pinisepuh, kemudian di bangun pelinggih Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dengan Ancangan Buaya sebagai penjaganya. Sejak saat itu, tanah di sekitar Pura Purohita tidak terjadi longsor, meskipun air sungai meluap tinggi.

Suatu hari, salah satu semeton puri yang bekerja di kapal pesiar bermimpi di datangi oleh Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, dan diminta membuatkan pratima saat Ida Bhatari sudah menjadi seorang Dewi. Karena pratima sebelumnya adalah pratima ratu niang lingsir saat beliau berwujud sekala. Bila semeton puri ini bersedia membuatkan pratimanya, maka rejekinya tidak akan ada habis habisnya. Setelah mendapat mimpi tersebut, semeton puri ini akhirnya mepunia untuk membuat pratima Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dalam wujud sebagai seorang dewi, seperti yang terlihat saat ini di Pura Khayangan Jagat Bhuana Purohita. Pratima Ida Bhatari Ratu Niang Sakti dalam wujud sebagai seorang dewi, yang ada di Pura Khayangan Jagat Bhuana Purohita di lakukan pemlaspasan pada tanggal 23 April 2023.

Sumber tulisan :
1. Puri Agung Dharma Giri Utama (www.dharmagiriutama.org)
2. Babad warga brahmana pandita sakti wawu rawuh : asal-usul, peninggalan, dan keturunan Dang Hyang Nirartha